Monday 26 November 2012

Contoh Orbiter Dicta dan Ratio Decidendi



Ratio Decidendi

Menimbang, bahwa penunjukan pasal-pasal oleh kedua pejabat diatas ini jelas keliru, sebab pasal 60 haruslah dihubungkan dengan pasal-pasal 57,58 dan 59 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk dengan hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan (perkawinan campuran), pada hal kasus a quo tidaklah mengenai perkawinan campuran dalam pengertian tersebut di atas, sebab kedua belah pihak yang akan melakukan perkawinan berkewarganegaraan Indonesia, hanya berlainan agama dan karena itu seharusnya ditunjuk ke pasal 21 ayat (3) Undang-undang No. 1 Tahun 1974;

Menimbang, bahwa sekalipun Pemohon beragama Islam dan menurut ketentuan pasal 63 ayat (1a) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa apabila diperlukan campur tangan Pengadilan maka hal itu merupakan wewenang dari Pengadilan Agama, namun karena penolakan melaksanakan perkawinan didasarkan  pasa perbedaan agama maka jelas bahwa penolakan tersebut tidak merupakan larangan untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana dimaksudkan pasal 8 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan karena kasus a quo bukan merupakan kasus seperti dimaksudkan oleh pasal 60 ayat (3) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, maka sudahlah tepat apabila kasus a quo menjadi kewenangan Pengadilan Negeri dan bukan Pengadilan Agama;

Menimbang, bahwa dari asas perbedaan agama dari calon suami-isteri tidak merupakan larangan perkawinan bagi mereka dan kenyataan bahwa terjadi banyak perkawinan yang diniatkan oleh mereka yang berlainan agama, maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa tidaklah dapat dibenarkan kalau karena kekosongan hukum maka kenyataan dan kebutuhan sosial seperti tersebut di atas dibiarkan tidak terpecahkan secara hukum, karena membiarkan masalah tersebut berlarut-larut pasti akan menimbulkan dampak-dampak negatif di segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama yang berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama dan atau hukum positif, maka Mahkamah Agung berpendapat haruslah dapat ditemukan dan ditentukan hukumnya;

Menimbang bahwa menurut ketentuan pasal 10 ayat (3) PP No. 9/1975 maka dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya, perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi;

Menimbang, bahwa menurut ketentuan pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Pegawai Pencatat untuk Perkawinan menurut agama Islam adalah mereka sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talaq dan Rujuk, sedangkan bagi mereka yang beragama selain agama Islam adalah Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil;

Menimbang, bahwa dengan demikian bagi Pemohon yang beragama Islam dan yang akan melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki beragama Kristen Protestan bernama : Andrianus Petrus Hendrik Nelwan tidak mungkin melangsungkan perkawinan di hadapana Pegawai Pencatat Nikah, Talaq  dan Rujuk;

Menimbang, bahwa dengan demikian penolakan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Jakarta adalah tepat, sekalipun pertimbangannya tidak dapat dibenarkan oleh karenanya permohonan Pemohon agar penolakan tersebut dinyatakan tidak beralasan harus ditolak;

Menimbang, bahwa perlu ditemukan jawaban apakah mereka dapat melangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya kemungkinan, sebab di luar itu tidak ada kemungkinan lagi untuk melangsungkan perkawinan;

Menimbang, bahwa kalau dilihat dari pihak masing-masing dan dari pihak ayah dari Pemohon kasasi maka terbukti bahwa benar-benar mereka menghendaki dilangsungkannya perkawinan;

Menimbang, bahwa dengan diajukannya permohonan untuk melangsungkan perkawinan kepada Kepala Kantor Catatan Sipil di Jakarta, harus ditafsirkan bahwa Pemohon berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam dan dengan demikian haruslah ditafsirkan pula bahwa dengan mengajukan permohonan itu Pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya ( in casu agama Islam ), sehingga pasal 8 sub f Undang-undang RI No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkannya perkawinan yang mereka kehendaki, dan dalam hal/keadaan yang demikian seharusnya Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan yang kedua calon suami-isteri tidak beragama Islam wajib menerima permohonan Pemohon;

Menimbang, bahwa dengan demikian maka penolakan Kantor Catatan Sipil untuk melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan antara Pemohon dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan tidaklah dapat dibenarkan. Oleh karenanya harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon kasasi untuk sebagian;

Menimbang, bahwa karena permohonan hanya dikabulkan untuk sebagian, maka Pemohon akan dibebani pula untuk membayar biaya kasasi;




Orbiter Dicta

Menimbang:
mengenai keberatan-keberatan ad 1 dan ad 2 :
Bahwa keberatan-keberatan ini dapat dibenarkan karena :
1.             Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memuat suatu ketentuan apa pun yang menyebutkan bahwa perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri merupakan larangan perkawinan. Hal mana adalah sejalan dengan Undang-undang Dasar 1945 pasal 27 yang menentukan bahwa segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warganegara sekalipun berlainan agama. Dan selama oleh undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warganegara untuk memeluk agama masing-masing;

2.             Sebagaimana telah dipertimbangkan di atas maka Undang-undang tentang Perkawinan tidak mengatur mengenai perkawinan dari calon suami-isteri yang berlainan agama;

3.             Sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974, ada peraturan yang mengatur tentang Perkawinan Campuran ialah regeling op de Gemengde Huwelijken, S. 1898 No. 158 – disingkat GHR- yang mengatur perkawinan antara orang-orang yang tunduk kepada hukum yang berlainan, dan perkawinan antara seorang yang beragama Kristen dan seorang yang tidak beragama Kristen dapat digolongkan sebagai perkawinan GHR. Sekalipun menurut kata-kata yang terdapat dalam pasal 66 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yaitu “sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”, atas kasus a quo dapat diberlakukan ketentuan dari GHR karena Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengaturnya, namun ketentuan dari GHR ataupun dari Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (S. 1933 No. 74) tidak mungkin dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang amat lebar antara Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dengan kedua ordonansi tersebut yaitu :
Undang-undang tentang Perkawinan menganut asas bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dan itu merupakan salah satu perwujudan dari Pancasila sebagai falsafah negara. Perkawinan tidak lagi hanya dilihat hanya dalam hubungan perdata, sebab Perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Sedangkan perkawinan yang diatur baik oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesie – S. 1933 No. 74) dan Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken – S. 1898 No. 158) kesemuanya memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata saja;

4.             Dengan demikian jelas bahwa dalam Undang-undang tentang Perkawinan menghadapi kasus a quo terdapat kekosongan hukum karena menurut kenyataan dan yurisprudensi dalam hal perkawinan antara calon suami dan calon isteri yang berbeda agamanya ada 2 stelsel hukum perkawinan yang berlaku pada saat yang sama, sehingga harus ditentukan hukum perkawinan yang mana yang diterapkan, sedang pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jo pasal 10 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 hanya berlaku bagi perkawinan antara 2 orang yang sama agamanya. Di samping adanya kekosongan hukum maka juga di dalam kenyataan hidup di Indonesia yang masyarakatnya bersifat pluralistik/heterogen tidak sedikit terjadi perkawinan atau niat melaksanakan perkawinan seperti tersebut di atas;

Menimbang, bahwa dari berkas perkara ternyata :
1.             Ada pemberitahuan dari Andrianus Petrus Hendrik Nelwan dan Andi Vonny Gani P. kepada Kepala/Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil Khusus bahwa mereka akan melangsungkan perkawinan dan minta agar pemberitahuan itu dicatat serta diumumkan seperlunya (bukti P 6); dari pemberitahuan tersebut ternyata bahwa pada saat itu Andrianus Petrus Hendrik Nelwan dan Andi Vonny Gani P. masing-masing sudah mencapai umur lebih dari 21 tahun sehingga bagi mereka untuk melangsungkan perkawinan tidak diperlukan lagi izin dari kedua orangtua mereka;

2.             Ada Surat Pernyataan dari Drs. Andi Gani Parengi sebagai ayah kandung dari Andi Vonny Gani P. yang menyatakan memberi izin/persetujuan Andi Vonny Gani P. untuk melangsungkan pernikahan dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan;

3.             Dari memori kasasi yang diajukan, Pemohon tetap mohon diberi izin untuk melangsungkan perkawinan dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan;

4.             Dari surat Andi Vonny Gani P. dan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan kepada Mahkamah Agung tertanggal 19 April 1986 ternyata mereka tetap menginginkan untuk dapat melangsungkan perkawinan;

No comments:

Post a Comment